06.49

PENERAPAN CSR

Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan saat ini telah menjadi konsep yang kerap kita dengar, walau definisinya sendiri masih menjadi perdebatan di antara para praktisi maupun akademisi. Sebagai sebuah konsep yang berasal dari luar, tantangan utamanya memang adalah memberikan pemaknaan yang sesuai dengan konteks Indonesia.

Berangkat dari pendirian tersebut, situs ini didedikasikan untuk membuka diskusi dan menyebarkan wacana CSR agar dipahami oleh lebih banyak lagi pihak: masyarakat sipil, perusahaan maupun pemerintah. Tujuannya adalah agar semua pihak dapat beranjak dari pemahaman yang memadai ketika berbicara tentang CSR, yaitu sebagai suatu wahana yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan pemahaman yang demikian, CSR tidak akan disalahgunakan hanya sebagai marketing gimmick untuk melakukan corporate greenwash atau pengelabuan citra perusahaan belaka.

Dalam situs ini dapat dibaca berbagai hal yang berkaitan dengan CSR, mulai dari konsep dasar hingga bagaimana CSR diaplikasikan oleh perusahaan di berbagai sektor. Situs ini juga mengundang Anda untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang CSR melalui ajang diskusi.

Bagi perusahaan-perusahaan yang berkehendak untuk melaksanakan CSR dengan sungguh-sungguh, situs ini menyediakan deskripsi layanan jasa yang dapat kami berikan untuk bersama-sama mencapai tujuan keberlanjutan.

Contoh Kasus

Berbagai pernyataan diatas sangat relevan jika kita menengok tentang siapakah yang berhak sebagai masyarakat lokal yang menjadi sasaran CSR. Pendekatan pertama adalah dengan melihat sejarah masyarakat dengan cultur areanya dan yang kedua, adalah melihat dokumen AMDAL pada tentang siapa masyarakat lokal ketika perusahaan itu beroperasi pertama kali.

Untuk menguji apakah CSR telah dilakukan secara baik oleh perusahaan atau hanya sebagai “pemanis” marilah kita uji pada kasus eksploitasi bijih nikel PT Antam di Kolaka. Pertimbangan bahwa PT Antam sebagai perusahaan publik secara logika telah melaksanakan CSR dengan baik.

Pernyataan penting, yang harus diuji oleh stakeholder khsususnya pemerintah atau LSM adalah apakah masyarakat lokal sebelum PT Antam berdiri di Pomalaa dengan sekarang adalah masih sama, yaitu sebagai Mekongga Tribe. Merujuk pada Prof Tarimana dan yakin bahwa dokumen AMDAL PT Antam mengemukakan bahwa suku yang menghuni di Pomalaa ketika itu adalah Suku Mekongga dan sebagian kecil Suku Moronene di Selatan Pomalaa. Setelah sekian lama beroperasi dan sampai sekarang menunjuk bahawa Suku Mekongga hanya tinggal cerita, dan yang ada adalah masyarakat Pomalaa-Kolaka (Pomala Society). Artinya telah terjadi perubahan sosial kultural pada masyarakat disekitar PT Antam Pomalaa dari masyarakat yang mempunyai budaya yang sama menjadi masyarakat heterogen.

Dalam konteks ini menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan PT Antam di Pomalaa langsung atau tidak langsung telah mengubah sistem sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal yang seharusnya di lindungi. Lantas dimana kontribusi CSR? Apakah kehilangan Mekongga Tribe berkaitan dengan perbaikan sosial-ekonomi atau sebaliknya. Tentunya memerlukan pengujian dan pembuktian lebih lanjut.

Banyak kalangan melihat bahwa CSR tidak untuk meberdayakan masyarakat lokal tetapi kemungkinan hanya ditujukan pada karyawan, pendatang, dan pemerintah daerah setempat. Padahal Mekongga Tribe yang secara sosial budaya mempunyai cultur area inilah yang seharusnya dibela oleh semua pihak khususnya perusahaan. Artinya bahwa secara metodologi, CSR yang dipakai lebih dititikberatkan pada aspek ekonomi dan politik ketimbang sosial budaya dan realigi. Hal ini tampak dari pendekatan material sebagai kompensasi kepada kekuasaan dan masyarakat. Padahal masyarakat lokal mempunyai sistem ekonomi, sosial ,budaya, dan realigi terintegrasi dalam sistem ekologi. Jika keterpaduan ini diabaikan, maka konflik yang selama ini menjadi maslah laten akan terus terjadi dimasa yang akan datang.

Contoh kasus hanya sebagaian kecil dari kasus-kasus eksploitasi SDA Indonesia, dan ini menjadi penjelas mengapa selalu terjadi konflik padahal CSR sudah dijalankan dengan biaya yang tidak kecil. Lebih parah lagi, para pelaku kebijkan dan akademisi seakan terlena dengan angka-angka yang fantasis bahkan sebagian memberikan justifikasi. Mengapa demikian.

Untuk memperjelas akar permasalahan maka sebaiknya kita tidak melupakan sejarah eksploitasi SDA yang merupakan bagian dari sistem ekonomi kapitalis. Tugas pemerintah, akademisi, dan LSM adalah memastikan bahwa eksploitasi SDA tidak mengornkaan masyaraakt apalagi menghilangkan akses masyraakt lokal dengan berbagai pranata sosial ekonomi dan budayanya. Lantas siapakah diuntungkan dengan CSR ini? Pastinya adalah mereka yang tidak peduli terhadap lingkungan dan tidak kritis dengan kehidupan masyarakat lokal. Sebagai cacatan, bahkan, ada masyarakat tradisional yang masih bertempat tinggal di lahan konsesi pertambangan. Pertanyaan muncul kemudian dimana peran CSR sebagaimana amanat UU pertambangan.

Kalau kita merujuk pada strategi ekonomi kapitaslis, maka sesungguhnya yang menajdi tujuannya adalah keuntungan yang maksimal. Biasanya kompensasi ditujukan sebagai pendekatan kuratif ketika muncul protes. Oleh karena itu, sudah buat kebijakan yang lebih ramah lingkungan dan bersama-sama masyarakat secara kritis mengawasi pelaksanaan kegiatan eksploitasi agar kita tidak lagi menyaksikan hilangnya suku-suku bangsa yang menjadi kekayaan budaya dan plasma nutfahnya di bumi Indonesia. Pada saat yang sama kita dapat mengurangi tragedy of common yang kebanyakan terjadi di daerah kita masing-masing.

Dalam tataran empiris kita juga mempertanyakan akan konsep metode dalam perusahaan dalam mengimplementasikan CSR. Kita harap kasus Freeport Papua, dan Newmont di Minahasa tidak akan terjadi di Sulawesi Tenggara




Referensi :
https://m3sultra.wordpress.com/2009/11/24/masalah-csr-pada-tambang-di-sultra/
http://www.csrindonesia.com/

0 komentar: